Thursday, October 23, 2008

Hak Kekayaan Intelektual Dalam Seni Design Tradisional

Cerita dari Jahab

Akhir tahun 2005. Seorang pemangku Adat masyarakat Dayak Benuaq di Jahab, Kalimantan Timur, menuturkan sebuah cerita sakral, bahwa bagi mereka, kayu-kayu hutan Kalimantan ternyata adalah leluhur dan tetangga yang harus selalu diperlakukan dengan hormat.

Namun, semua sudah berubah. Dengan secarik surat izin, para pendatang dari luar pulau dan bahkan luar negeri dapat menggunduli hutannya hingga akar dalam hitungan hari.

”Leluhur dan tetangga kami mati. Rumah Lamin kami berganti bedeng dan kami sulit membuat ukir-ukiran lagi. Orang-orang asing datang membuat obat dari kekayaan hutan dan tradisi design kami di belakangkan. Kadang, kamilah justru yang dituduh sebagai perusak hutan atau pencuri kayu perusahaan.”

Cerita dari Amazon

Tahun 1986. Loren Miller memperoleh Paten dari Kantor Paten Amerika Serikat (AS) sebagai inventor varietas tanaman yang kabarnya dapat menjadi obat antikanker dan psikoterapi bernama tradisional Da Vine. Lucunya, Miller sebetulnya hanya ”menemukan” varietas itu dibudidayakan di satu kebun seorang anggota komunitas Amazon di Amerika Latin. Da Vine bagi masyarakat tradisional itu adalah tanaman sakral untuk obat bernama Ayahuascha.

Begitu tahu bahwa tanaman sakral mereka dipatenkan pihak luar, perwakilan masyarakat Amazon itu segera memohon agar Paten itu ditinjau ulang. Sayangnya, karena tidak ada bukti tertulis, upaya hukum untuk mencabut Paten itu gagal. Paten itu habis masa berlakunya tahun 2003.

Pertanyaan kritis

Adakah subsistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang bisa membuat sebuah produk tetap lekat dengan tanah asalnya? Adakah HKI yang berpihak kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat adat atau komunitas lokal?

Sejauh ini, hak-hak kebudayaan yang mengurusi perlindungan nilai-nilai ekonomi produk-produk budaya dan design tradisional adalah HKI. Menurut versi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), HKI merupakan sistem besar berdasarkan Perjanjian Internasional tentang Aspek-aspek HKI yang Terkait dengan Perdagangan (TRIPS). Sistem ini terdiri dari sub-subsistem Hak Cipta, Paten, Merek, Design Industri, Rahasia Dagang, Tata-Letak Sirkuit Terpadu, dan Indikasi Geografis.

Sayangnya, ketujuh subsistem itu punya dua karakter khas. Pertama, sebagai produk WTO, mereka justru cenderung mendukung ide perdagangan bebas, yang ingin membuat barang dan jasa mengalir bebas melintasi batas-batas negara, dan bukannya diam dalam satu wilayah negara. Kedua, sesuai dengan sejarah pemberian Paten di Eropa pasca-Abad Pencerahan, yang dilindungi adalah produk-produk budaya modern, dengan cara pembuktian modern yang mesti tertulis, dan pemegang hak perorangan. Padahal, bukti produk-produk dan design tradisional adalah warisan tradisi bersifat lisan. Kepemilikannya pun komunal.

Kabar baiknya, pengembangan perlindungan hukum di tingkat nasional negara anggota WTO tetap terbuka, selama semua isi TRIPS sudah diakomodasi. Maka, dengan cerdas Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia telah menambahkan pewayangan, kaligrafi, dan seni design terapan batik sebagai obyek perlindungan.

Selain itu, ditentukan bahwa Negara memegang Hak Cipta atas obyek-obyek yang tidak diketahui penciptanya untuk kepentingan pencipta itu dan ahli warisnya, dengan perlindungan tanpa batas waktu. Pakar Hak Cipta, Eddy Damian, dan pakar perlindungan Folklor, Agus Sarjono, juga telah mengemukakan pentingnya pendataan kekayaan design tradisi sebagai upaya preventif.

Namun, bagaimana dengan produk-produk budaya warisan tradisi yang sudah telanjur disahkan oleh sistem HKI WTO sebagai hak pihak-pihak asing?

Perlindungan HKI lain

Sebetulnya, perlindungan HKI lain bisa dicari dalam perjanjian-perjanjian internasional yang bukan dibuat WTO, tetapi Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Sebagai badan khusus PBB, WIPO selalu berusaha mengimbangi corak hukum WTO yang sering cenderung berpihak kepada kepentingan segelintir negara maju yang telah kekurangan ide kreatif.

Perlindungan Indikasi Asal dalam Konvensi Paris versi WIPO, misalnya, adalah perlindungan terhadap tanda, nama atau indikasi yang menunjukkan asal suatu barang yang sebenarnya. Konvensi Paris melarang setiap barang beredar di pasar global memakai tempat asal yang salah atau menyesatkan.

Dalam hukum nasional Indonesia, Indikasi Asal sebetulnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Merek. Di situ disebutkan bahwa Indikasi Asal adalah Indikasi Geografis, tetapi belum terdaftar. Sayangnya, karena masih merupakan bagian dari Merek, sering terjadi salah paham, bahwa menghubungkan perlindungan Indikasi Asal dengan obyek Paten, Hak Varietas Tanaman atau karya-karya seni tradisional obyek Hak Cipta dianggap sudah ”salah” dari awal. Selain itu, karena pengaturannya hanya satu ayat, Indikasi Asal kesannya tidak penting.

Padahal, perlindungan Indikasi Asal bisa dipakai juga untuk memperkuat perlindungan sub- sistem HKI lainnya. Sebagai bagian dari Indikasi Geografis dalam arti luas, Indikasi Asal justru menghargai sejarah dan akar budaya setempat, termasuk tradisi pembuatannya, di samping faktor lingkungan dominan, seperti keadaan tanah dan iklim. Perlindungannya tidak mengenal batas waktu selama kualitasnya terjaga. Selain itu, kepemilikannya dipegang oleh kelompok masyarakat produsen yang tinggal dalam suatu kesatuan wilayah atau klaster.

Menariknya, kepemilikan bersama atas suatu Indikasi Asal amat mungkin. Misalnya, Indikasi Design Asal Batik Indonesia tentu merupakan milik bersama dari kelompok produsen batik-batik Jawa dan Palembang.

Belajar dari kasus Amazon

Belajar dari kegagalan Masyarakat Amazon, klaim atas Da Vine tidak cukup mengandalkan klaim satu subsistem HKI saja, misalnya Paten. Jika saja perlindungan Indikasi Asal juga turut dipakai, mungkin ceritanya akan lain. Klaim, menurut Indikasi Asal, bisa lewat nama Amerika Latinnya: Da Vine, yang mengindikasikan asalnya.

Pembuktian bahwa pengolahan Da Vine memiliki akar kultural yang panjang dalam tradisi masyarakat Amazon pun bisa dilakukan melalui banyak alat bukti. India telah melakukan upaya ini bagi beberapa strain Beras Basmati melawan pengusaha AS. Yunani juga melakukannya bagi keju Feta melawan pengusaha di beberapa negara Komunitas Eropa. Meski kontroversial, mereka berhasil.

Bagi masyarakat Dayak, tes kelayakan untuk memastikan hak mereka atas produk-produk Kayu Kalimantan bisa dilakukan. Misalnya, apakah produk - produk Kayu Kalimantan sudah punya reputasi tertentu, memiliki akar sejarah budaya lokal yang panjang, memiliki komunitas pemangku, memiliki cara-cara pembuatan tradisional tertentu, dan memiliki kesatuan wilayah produksi. Jika ya, produk- produk Kayu Kalimantan bisa menjadi HKI bersama komunitas-komunitas Dayak dengan binaan pemda setempat.

Produk-produk hasil hutan, pertanian, hingga kerajinan dan ekspresi seni design tradisional yang reputasinya mencuat karena tempat asalnya, juga bisa dicoba dengan perlindungan penguat ini. Tinggal pemihakan dan keberanian dari pihak berwenang yang menentukan.

Miranda Risang Ayu, PhD. Pemerhati masalah Hak-hak Kebudayaan. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung

Saturday, October 11, 2008

Ilustratif, Integratif dan Dimensi Design Visual Dalam Proses Kolaborasi Puisi

Istilah kolaborasi berasal dari ilmu perang yang berarti bekerja sama dengan musuh. Dalam seni dan sastra berarti penggabungan dua jenis karya seni yang melahirkan satu bentuk karya seni baru. Contohnya: Film adalah kolaborasi dari seni sastra, seni pentas, seni musik, dan seni rupa atau design.

Dewasa ini timbul jenis-jenis puisi hasil kolaborasi dari seni sastra dan seni lain. Kolaborasi puisi memiliki sejarah panjang. Bentuk kolaborasinya ada dua macam yaitu kolaborasi ilustratif dan kolaborasi integratif.

Pada kolaborasi ilustratif kehadiran puisi hanya didukung dan diperkuat oleh bentuk dan unsur seni lain, yang sifatnya ilustratif dengan design graphic. Misalnya, puisi-puisi Cina klasik yang ditulis di atas kain sutra diberi ilustrasi sesuai dengan isi dan suasana puisi. Hal yang sama terdapat dalam rubayat Omar Khayyam edisi bahasa Inggris Edward Fitzgerald (edisi keempat).

Kolaborasi integratif terjadi pada musikalisasi puisi. Seni sastra berkolaborasi dengan seni musik melahirkan karya baru, puisi yang dinyanyikan. Kolaborasi jenis ini juga banyak terdapat dalam khazanah puisi Cina klasik.

Kolaborasi integratif antara puisi dan seni rupa design terjadi di dalam puisi konkret atau puisi design visual. Larik-larik puisi dibentuk menjadi wujud tertentu tanpa meninggalkan keverbalannya sebagai seni sastra. Salah satu contoh puisi ‘ALLAH’ karya Danarto. Sebagai puisi verbal lariknya masih bisa dibaca. Sementara itu strukturnya dibangun dalam matra design visual yang bermakna simbolik.

Kolaborasi antara puisi dengan seni rupa design tampaknya terus berkembang dalam berbagai bentuk dan variasi. Di Jepang, Osama Asano dan Banyak Natsuishi mengkolaborasikan Haiku dengan seni rupa menjadi sebuah puisi design visual. Pada tahun 1997 penyair Jepang Katsunori Kusunoki meluncurkan puisi visualnya yang disebutnya Poetry Boxing; yaitu puisi yang bermatra teatrikal. Kihachiro Kawamoto mengkolaborasikan Haiku dengan film animasi. Puisi menjadi bentuk seni yang hidup bergerak.

Pelukis Bali, Made Wianta, juga melakukan kolaborasi puisi dan seni rupa design. Dalam hal media dan teknik Wianta lebih cenderung membawa karya kolaborasinya ke arah seni rupa. Puisi yang dikolaborasikan tidak dipakai untuk mewujudkan suatu rupa, tetapi menjadi unsur seni rupa design. Selembar sobekan koran diberi lukisan dan goresan-goresan puisi. Sobekan koran itu menjelma menjadi karya seni rupa, dan puisi menjadi salah satu unsurnya. Kadang-kadang puisi itu tidak lagi bisa dibaca, dan tidak lagi mengandung makna. Hal ini menegaskan, karya itu lebih cenderung sebagai karya seni rupa design.

Di bawah pengaruh seni instalasi puisi design visual atau puisi konkret keluar dari matra dimensinya; dari dua menjadi tiga dimensi. Sebuah seni instalasi bisa sebuah puisi yang telah berkolaborasi dengan seni rupa.

Dalam sastra Bali klasik juga terdapat kolaborasi puisi dan seni rupa; yang dikenal dengan nama Rerajahan, yaitu sejenis sastra magis-spiritual. Karya lain misalnya Sastra Yantra karya Anak Agung Istri Agung. Sepintas lalu karya ini tampaknya dibangun dengan kolaborasi ilustratif design graphic. Tetapi bila dicermati pada hakikatnya memakai kolaborasi integratif. Fragmen-fragmen gambarnya merangkai dan mengantarkan teks puisinya mengikuti arah tertentu. Karya ini adalah seni sastra sekaligus seni rupa.

Sutan Takdir Alisyahbana (almarhum) pernah menyuruh Ni Reneng mengkolaborasikan puisinya yang berjudul ‘Perempuan di Persimpangan Zaman’. Hasilnya adalah sebuah tari Bali dengan nama yang sama.

Larik-larik puisi yang menunjukkan temanya diwujudkan dalam gerak tari simbolik. Orang boleh menyebut karya ini puisi yang ditarikan atau tarian puitis.

Variasi kolaborasi puisi dan seni musik antara lain dilakukan oleh Hintze (dipertunjukkan di Werdi Budaya Denpasar, 22 Agustus 2003, dalam acara Pesta Sastra Internasional). Bentuknya tidak sekadar musikalisasi puisi. Puisinya terdiri dari aneka bunyi yang dihasilkan oleh mulut didukung oleh bunyi-bunyi produk alat elektro dan gesekan benda-benda. Pemirsa hanya bisa menikmati puisi bunyi ini lewat kesan-kesan yang timbul menurut pengalaman estetik masing-masing.

Melalui proses kolaborasi bentuk dan jenis puisi bertambah. Definisinya pun berubah. Meski tak sepenuhnya meninggalkan bahasa verbal, puisi hasil kolaborasi sering berada di luar bahasa verbal. Tak ada lagi definisi yang bisa menjangkaunya, kecuali ditunjukkan oleh sifat kepadatan intensitasnya.

Kolaborasi puisi dapat membantu membukakan peluang bagi penikmat dan pengapresiasi, di samping memberikan medan seni yang baru. Dengan kolaborasi kerumitan dunia puisi dapat ‘dicairkan’, sehingga lebih mudah dinikmati dan diapresiasi.

Pada musikalisasi puisi, peningkatan irama karena unsur musik dapat lebih menggugah indera-indera penikmat. Dengan kata lain puisi telah membuka jalan yang lebih lapang guna dimasuki oleh pengapresiasi.

Kolaborasi puisi dengan seni rupa design memungkinkan puisi memperoleh dimensi baru yaitu dimensi design visual. Aspek verbalnya memberikan makna lewat tema, sedangkan aspek visualnya memberikan makna simbolik lewat rupa. Pemirsa dapat menikmati puisi sekaligus seni rupa.

Sudah saatnya bentuk-bentuk kolaborasi puisi diperkenalkan di ruang kelas, kalau kita tidak mau siswa kita tertinggal oleh perkembangan seni budaya design sejagat.

Oleh: Nyoman Tusthi Eddy

  ©Blogspot Design By Pensil Warna Design.

TOPO