Monday, August 31, 2009

Koleksi Logo Google Olimpiade Beijing 2008

Setiap orang dan organisasi memiliki cara tersendiri dalam menyambut hari-hari penting. Google selalu inovatif dan kreatif tidak saja pada alogaritma mesin pencari namun juga sampai pada design logonya. Logo Google selalu berubah (sering disebut Google Doodle) dalam merayakan hari-hari besar atau penting seperti hari penemuan, hari lahir orang-orang besar, hari libur dan tentu saja pada pesta olahraga dunia kali ini, Olimpiade Bejing 2008.

Inovasi dan kreatifitas yang akhirnya menjadi tradisi untuk merubah logo Google ini datang langsung dari para pendiri Google (Larry Page dan Sergei Brin) pada tahun 1999 saat mereka menghadiri Festival Burning Man. Dimana mereka memasang tongkat kayu berbentuk orang pada logo Google sebagai pemberitahuan secara tidak langsung bahwa bila ada yang menemukan suatu kesalahan pada hasil pencarian dan mencoba menelpon tetapi tidak ada yang menjawab maka mereka berdua berada di Festival Burning Man.

Logo Google Doodle Pertama Burning Man Festival 1999

Untuk Olimpiade kali ini Google memakai dua belas binatang dalam shio china, meskipun tidak dalam urutan yang seharusnya yaitu Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi. Sejak pertama kali melihat perubahan logo Google dalam menyambut Olimpiade Bejing 2008, saya langsung tertarik untuk mengoleksinya seperti saya juga mengoleksi gantungan-gantungan kunci Olimpiade Bejing kali ini.

Dibalik setiap keindahan Logo, selalu ada seseorang yang berperan dalam menciptakan keindahan tersebut, ini adalah sedikit tentang siapa yang men-design logo Google tersebut. Logo Google kali ini di design oleh Dennis Hwang, (lulusan Stanford –satu almamater dengan para pendiri Google- dibidang Seni dan Ilmu Komputer) seorang design graphic muda yang sangat berbakat yang job description resminya adalah Google International Webmaster. Dia sudah membuat doodle ini sebanyak kurang lebih 150 buah.

Berikut dibawah ini adalah hasil mengunduh (download) yang berjumlah total 17 buah logo Google dalam pesta olahraga dunia Olimpiade Bejing 2008. Bila ingin ikut mengoleksinya bersama saya, silakan mendownloadnya.

Silakan Lihat Lebih Jelas :

Koleksi Design Logo Google Olimpiade Bejing 2008

Monday, August 17, 2009

Tai Chi dan Seni Tari Klasik Jawa

Di manakah titik temu antara gerak Tai Chi dan tari Jawa klasik? Kedua tradisi berbeda itu bertemu pada hasrat untuk menyelaraskan diri dengan energi alam. Lihat saja pentas tari ”Song of Body” karya Danang Pamungkas (30), koreografer asal Solo yang kini menjadi penari di Cloud Gate Dance Theater of Taiwan. Danang tampil bersama dua penari lain, Rianto dan Luluk Ari, di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 2-3 Februari 2009. Tata cahaya ditangani Sugeng Yeah, dengan musik dari Philip Glass Song and Poems for Solo Cello.

Sejak awal, pertunjukan tari ini memang berhasrat menyeret penonton masuk dalam suasana alam. Lantai panggung dipenuhi hamparan pasir laut, sebagian dionggokkan menyerupai dua gundukan. Di bawah sorotan lampu temaram, hamparan pasir dengan permukaan berbarik-barik itu menyerupai pemandangan pantai pada malam yang berangin.

Danang muncul bertelanjang dada, hanya bercelana gombrong warna merah marun. Bersamaan dengan alunan musik Philip Glass yang menuntun, dia berjingkat untuk merespons hamparan pasir. Butiran pasir diraup, digenggam, lantas diawur-awurkan. Penari berambut cepak itu kemudian meliuk-liuk pelan. Tangannya bergerak memutar lembut, seperti air mengalir. Dalam geliat yang makin berbobot, tangan dan kaki itu bergeser membentuk irama seperti mengaduk air dan udara. Makin lama, makin kentara, gerak itu bermuara pada pola tai chi yang terkenal itu.

Muncul penari kedua, juga bertelanjang dada dan bercelana gombrong. Masih dalam irama gemulai, dia berputar, meloncat, dan bergerak dengan landasan pola tai chi tadi. Begitu pula penari ketiga yang hadir belakangan. Kuda-kuda kaki para penari itu kokoh mengentak lantai. Dengan perut kembang kempis akibat konsentrasi pernapasan, mereka seakan menyerap energi bumi, lantas mengedarkannya ke seluruh tubuh. Pada puncak-puncak gerak, tubuh mereka menggeletar menguari energi yang memendar-mendar. Spirit tari Jawa mengental lewat tempo lambat yang menciptakan suasana meditatif. Sesekali gerak jari dan lengan penari menyerupai kelembutan gerak tari Jawa klasik.

Persentuhan tai chi dan Jawa itu lebih cair lantaran dijalin dengan semangat kebebasan tari kontemporer. Kebebasan itu pula yang mengantarkan ketiga penari itu keluar masuk dengan leluasa. Mereka saling merespons, bertaut, berbagi energi. Suatu saat mereka bergerak seragam, lain kali memisah sendiri-sendiri. Kadang, masuk juga pola tari balet dengan tubuh saling menumpu dan memutar anggun. Pada satu titik, Danang maju ke depan, meraup pasir, lantas berdiri mematung.

Dalam keheningan, dia mendongak, menatap butir-butir pasir yang jatuh meluruh mengikuti sedotan gravitasi bumi. Harmoni Apa sebenarnya yang dicari Danang lewat karya yang mempertemukan spirit tai chi dan tari Jawa klasik? ”Saya ingin berbagi energi dan mengajak penari untuk menyatu dengan energi alam,” kata penari lulusan STSI Solo itu seusai pentas. Untuk apa semua itu? ”Ketika mencapai harmoni energi, kita akan bisa merasakan diri sendiri, menenangkan pikiran. Momen itu kan sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yang serba terburu-buru.” Kenapa memilih suasana pantai, lengkap dengan pasirnya? ”Kebetulan, di Taiwan saya tinggal di kawasan dekat pantai bernama Dan Sui.

Saya sering berlatih menari di pantai itu. Lantas, saya pikir, kenapa tidak saya buat karya berdasar pengalaman itu sekalian?” Sudah setahun ini Danang aktif sebagai penari di Cloud Gate Dance Theater of Taiwan dan belajar pada koreografer Lin Hwai-min. Program itu dilakoni setelah dia mengikuti lokakarya tari dan koreografi bersama Lin Hwai-min yang diselenggarakan Kelola di Solo, pertengahan Agustus 2007 lalu. ”Song of Body” di Salihara cukup menarik penonton dua malam itu.

Salah satunya, koreografer lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Hartati. Menurut perempuan ini, karya Danang berhasil memperlihatkan intensitas gerak yang kuat. Tanpa memuncak pada klimaks tertentu, struktur koreografinya cenderung mengalir dari awal hingga akhir. ”Tak ada narasi khusus dalam karya ini, tetapi gerak dan suasana yang tercipta sangat kuat merangsang kita untuk merenungi diri sendiri,” katanya.

  ©Blogspot Design By Pensil Warna Design.

TOPO